Maria Pauline Lomowa merupakan salah satu tersangka di balik kasus pembobolan kas BNI (Bank Negara Indonesia) cabang Kebayoran.
Peremuan itu lahir pada 27 Juni 1958 ditanah Sulawesi Utara. Ia sendiri merupakan pemilik dari PT. Gramarindo Mega Indonesa, perusahaan yang bergerak di bidang ekspor hasil pupuk cair, industry marmer.
Kisah Maria Pauline Lomowa
Awal mula kasus ini dimulai pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003. Setelah kasus itu, ia kabur ke Singapure akhir akhir ini dia diketahui sedang tinggal di Belanda. Pasalnya ia sudah menjadi buronan negara selama 17 tahun.
Kala itu Bank BNI memberi pinjaman senilai 136 juta dollar AS dan 56 juta Euro atau setara dengan Rp 1,7 Triliun (kurs pada saat itu) kepada PT Gramarindo Group Baru senilari Rp 1,7 triliun melalui letter of credit (L/C) fiktif. Yang sangat mungkin sebesar 3% nya kalian dapatkan dengan mudah dari situs poker online terbaik dan terpercaya.
Pada saat peminjaman tersebut, Maria mengajukan pengajuan dengan 41 letter of credit (L/C) yang dilampirkan dengan delapan dokumen ekspor fiktif. Jadi dokumen tersebut seolah-olah membuat perusahaan itu telah melakukan ekspor.
Ia menjadi dalang dibalik kasus pembobolan ini dan membawa sejumlah 16 orang tersangka lainnya yang ikut serta untuk membantu dalam aksinya.
Namun ternyata bantuan yang didapat oleh PT Gramarindo ini melibatkan beberapa orang dalam karena ternyata BNI
Tetap menyetujui jaminan L/C tersebut dari Rosbank Switzerland, Middle East Bank Kenya Ltd., Dubai Bank Kenya Ltd., dan The Wall Street Banking Corp yang bukan merupakan bank korespondensi Bank BNI.
Bank BNI sendiri sudah mulai curiga dengan transaksai atas perusahaan tersebut. Seteleh dilakukannya penelitian, tenyata PT Gramarindo Group tidak pernah melakukan ekspor.
Duganaan L/C fiktif ini langsung dilaporkan ke Mabes Polri, sedangkan semua itu telat karena Maria sudah terbang lebih dulu ke Singapura pada bulan September saat sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Sekitar tahun 2009, banyak yang mengetahui keberadaan Maria sudah ada di Belanda. Ia pun sering kali bolak-balik Belanda-Singapura.
Saat pihak dari kemenkumham mengupayakan untuk perjanjian ekstradisi (proses dimana seorang tersang yang ditahan negara laun yang kemudian diserahkan kepada negara asal untuk di sidang sesuai dengan perjanjian yang bersangkutan) mengalami gangguan.
Karena demi terlaksannya perjanjian ekstradisini ini, pihak dari Indonesia tetap mengikuti prosedur yang ada dan tidak terlapas dari diplomasi hukum antarangera dan juga komitkemn pemerintah selaku penegak hukum.
Dibalik itu, Maria sempat mengaku bahwa dia bersedia balik ke Indonesia untuk memberi keterangan kepada polisi dalam skandal itu sudah jelas, ia mengatakan bahwa ia akan bertanggung jawab atas kredit yang ia pinjam dan mengalami kerugian pada pihak lain.
Pihak dari Indonesia sendiri sudang sering mengklaim bahwa mereka telah mengajukan beberapa ekstradisi kepada Pemerintah Belanda.
Namun pemerintah Belada menolak permintaan tersebut lantaran Maria telah menjadi warga Negara Belanda.
Di samping itu, pihak Belanja juga sudah memberikan opsi untuk penyidangan kasus Maria di Belanda.
Kemenkuham, Yasonna, menyebutkan bahwa pemerintah Belanda ternyatasangat kooperatif dalam proses perjanjian ekstradisi.
Sebab pada tahun 2015, Indonesia telah membantu Belanda dalam mengekstradisi pelaku pencurian data nasabah Niko Lliev.
Selain itu dia juga sempat mengelak bahwa dana yang ia dapati ke perusahannya hanya sekiatar Rp 320 miliar.
Dana tersebut diperoleh melaui dana outstanding 120 juta dolla AS, dan sisanya sudah dibayarnya secara roll over melalui peruahaan Gramarindo di BNI New York.